Jumat, 05 Agustus 2011

EMPTY NEST SYNDROME PADAWANITA USIA DEWASA MADYA


Banyak orang tua beranggapan, tugas mereka sebagai orang tua berakhir sesaat setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah, untuk menjalani kehidupan mereka masing-masing. Anggapan ini membuat banyak orang tua yang menjadi stres ketika masa itu hampir tiba. Akibatnya, masa tua menjadi masa yang “tampaknya” tidak menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang merasa kehilangan arti atau makna hidup setelah selama sepuluh tahun, dirinya memiliki peran sentral dalam kehidupan anak-anak.
Dalam hal ini Roading & Santrock (1991:277) menjelaskan bahwa kondisi semacam itu akan datang dalam kehidupan pasangan ketika anak-anak mereka menjadi mandiri dan mulai bisa mencari kebutuhannya sendiri dan mereka telah lepas dari keluarga/orangtua. Ketika anak yang mulai dewasa mulai meninggalkan rumah, beberapa orangtua mengalami perasaan kehilangan yang mendalam atau beberapa orangtua tersebut akan mengalami “empty nest syndrome”.
Empty nest syndrome pada usia madya adalah sindrome yang terjadi pada usia dewasa madya karena anak-anak telah dewasa dan mandiri meninggalkan rumah untuk bekerja, menikah, merantau atau kuliah. Seperti dijelaskan oleh Herati (2000: 2) bahwa empty nest syndrome atau syndrome sarang kosong adalah rasa kosong yang biasa terjadi ketika anak-anak sudah mulai keluar rumah dan seorang ibu merasa tidak terlalu dibutuhkan lagi oleh keluarganya.
Fase empty nest pada usia dewasa madya tidak selamanya menyebabkan seseorang mengalami sindrome, tetapi fase empty nest bisa dianggap sebagai suatu keberhasilan dalam menjalankan tugas-tugas sebagai orangtua. Hal ini didukung oleh Feldman (1989:363) menyatakan bahwa untuk beberapa orang, empty nest dapat diterima karena pasangan mendapatkan kembali kebebasan mereka. Bagi
yang lainnya, bagaimanapun masa ini tidak terlalu membahagiakan. Bagi yang hidup berpusat pada keluarga, kepergian anak-anak bisa jadi merupakan hasil dari tugas mereka dalam mengurus anak-anak telah selesai.
Tidak heran jika bagi orangtua yang “tidak memiliki” kesibukan di usia madyanya, maka “empty nest syndrome” ini menjadi suatu gangguan yang mengakibatkan mereka mengalami kekosongan. Misalkan saja seperti diceritakan oleh Ny. Farida Djoko Sanyoto bahwa “Ny Farida di rumahnya hanya tinggal bersama suami dan satu anaknya yang sudah bekerja, dan saati itu juga dia merasa rumahnya mulai kosong, rumah terasa kosong setekah anak-anak semakin jarang berada dirumah, dan Ny Farida mengakui bahwa saat itu dia mengalami
kekosongan dalam rumah tangganya, namun karena dia mendapat dukungan dari anak dan suaminya untuk melanjutkan kuliahnya pada Program Pasca Sarjana  Kajian Wanita di Universitas Indonesia, maka sejak itu, Ny. Farida memiliki kesibukan lain sehingga kekosongan yang pernah dialaminya waktu itu agak berkurang” (Kompas, Minggu, 13 Agustus 2000).
Sementara Duberman 1974 (dalam Feldman, 1989: 363) menyatakan bahwa ada yang mungkin untuk menjadi perubahan yang besar dalam kualitas pernikahan hanya karena anak-anak telah dewasa. Pernikahan yang memuaskan adalah ketika anak-anak masih di rumah, di mana ketidakpuasan pernikahan ditimbulkan karena adanya permasalahan lain dalam pernikahan yang berkelanjutan.
Hal tersebut juga dipertegas oleh Bassoff (dalam Santrock, 2002: 162), bahwa sebuah peristiwa penting dalam keluarga adalah beranjaknya seorang anak ke dalam kehidupan dewasa, karir atau keluarga yang terlepas dari keluarga tempat dia berasal. Orang tua menghadapi penyesuaian baru karena ketidakseimbangan akibat ketidakadaan anak.
Selanjutnya Santrock (2002:162) menjelaskan bahwa: “Sindrom sarang kosong (empty nest syndrome) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan akan mengalami penurunan karena orang tua memperoleh banyak kepuasan dari anak-anaknya, dan oleh karena itu, kepergian anak dari keluarga akan meninggalkan orang tua dengan perasaan kosong. Meskipun sindrom sarang kosong tersebut berlaku bagi beberapa orang tua yang hidup melalui anak-anaknya, sarang yang kosong tersebut biasanya tidak menurunkan kepuasan pernikahan. Melainkan, sebaliknya yang terjadi, kepuasan pernikahan meningkat pada tahun-tahun pasca membesarkan anak “.
Kasus di atas, menurut Persitarini (dalam kliping Bidang Psikologi, Tahun III no. 4 1999 : 106 dari perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta) banyak dirasakan oleh orangtua ketika anak-anaknya berkembang dewasa dan kemudian mereka keluar dari rumah, entah untuk sekolah maupun karena telah berkeluarga, dalam perkembangannya ternyata bisa terjadi pada siapa saja,
termasuk anak-anak”.
Lilian (dalam Kompas, Minggu13 Agustus 2000) dalam penelitiannya terhadap perempuan Amerika menemukan, perempuan yang hanya melakukan tugas tradisionalnya secara eksklusif di rumah dan tidak memiliki kegiatan lain di luar rumah, menderita sindroma lebih parah, bahkan sampai ketingkat depresi karena “rasa tidak dibutuhkan lagi” yang sedemikian pekat. Pada perempuan yang memiliki kegiatan lain diluar rumah, sindroma itu menjadi lebih cair.
Penelitian terdahulu dibuat pada tahun 1980 oleh Antonucci, Tamir dan Dubnoff (dalam Rini, 2004:1), menyebutkan bahwa pada usia antara 30 sampai 40-an tahun, terlihat adanya peningkatan stres dan depresi diantara para wanita, justru ketika anak-anak masih di rumah. Pada saat empty nest tiba, stres, depresi, kecemasan, dan kekhawatiran malah berkurang dan pada umumnya terjadi peningkatan material satisfaction. Ketika para responden itu dihadapkan pada pertanyaan tentang masa transisi itu, mereka cenderung memberi jawaban bahwakepergian anak (untuk menjadi mandiri), justru merupakan masa transisi yang positif dari pada negatif. Mengapa demikian? Karena para responden memiliki kesempatan dan peluang untuk kembali bekerja, kembali menekuni hobi, kembali aktif dalam organisasi, atau bahkan ada yang kembali ke sekolah (dalam Rini,2004:1).
Penelitian yang dilakukan oleh De Vries (dalam Rini, 2004:1) memperlihatkan bahwa, kegagalan anak-anak untuk menghadapi dan mengatasi
masa transisi mereka sendiri (untuk berhasil mandiri dan dewasa), turut menjadi faktor yang menentukan kepuasan dan kebahagiaan orang tua di dalam menjalani kesendirian pada masa paruh baya ini. Kegagalan anak untuk mandiri, membuat para i bu dan orang tua merasa gagal dalam peranannya sebagai orang tua, merasa bersalah, merasa bertanggung jawab dan enggan untuk merealisasikan rencana
ataupun keinginan yang dibuat sebelumnya ketika pada masa paruh baya ini muncul gejala-gejala yang bisa memicu timbulnya syndrome empty nest yang pada akhirnya dapat menjadi pemicu stres atau depresi bagi para orang tua tersebut. Begitu juga sebaliknya, mereka malah menganggap bahwa pada masa ini merupakan masa yang menyenangkan atau berdampak positif bagi mereka karena
mereka merasa telah berkurang stresor atau tekanan yang muncul ketika orang tua dan anak masih tinggal satu rumah dan justru pada masa itu mendatangkan manfaat lain, bisa menentukan kepuasan dan kebahagiaan orang tua dalam menjalani fase usia dewasa madya ini.
Hal tersebut juga dikuatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Australian Psychological Society yang menyarankan kepada orang tua agar tidak berlebihan dalam menghadapi empty nest syndrome (APS, 2004:1) Dari hasil penelitian tersebut juga diketahui bahwa orang tua yang mengalami empty nest syndrome seringkali mengalami kesulitan dan perasaan tidak mengenakan setelah anak-anak mereka keluar dari rumah. Penderitaan tersebut menjadi suatu lembaran hidup yang seharusnya mereka lupakan untuk hidup menyenangkan menjelang masa menopause, masa pensiun dan sebagainya. Menurut Natalie dijelaskan bahwa cara mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mencari kesibukan seperti rekreasi, shoping, bekerja sehingga menemukan kembali makna kehidupan dan terhindar dari empty nest syndrome yang berlebihan (Natalie, 2004:1).
Peneliti tertarik mengungkap permasalahan empty nest syndrome karena peneliti ingin mengetahui masalah ini lebih jelas karena sindroma ini merupakan permasalahan yang rentan terjadi pada usia dewasa madya. Sindrome ini cenderung diabaikan padahal masalah ini akan menyebabkan gangguan emosional jika tidak diselesaikan dan akan mengganggu seseorang melewati tugas-tugas perkembangan pada masa usia dewasa madya menuju tahap perkembangan selanjutnya. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraiakan di atas tersebut,
peneliti tertarik untuk menindaklanjutinya ke dalam bentuk penelitian dalam judul “Empty Nest Syndrome pada Wanita Usia Dewasa Madya”.

Empty Nest Syndrome

Bassof (Santrock, 1995) mengemukakan bahwa salah satu peristiwa penting dalam keluarga adalah beranjaknya seorang anak dalam kehidupan dewasa, karir atau membentuk keluarga baru yang terlepas dari keluarga tempatnya berasal. Wiryasaputra (2007) mengemukakan bahwa hal ini merupakan waktu yang tepat bagi anak untuk pergi keluar meninggalkan rumah, sekaligus waktu yang tepat juga bagi orangtua untuk melepaskan anak.
Tahap ini memang rasanya berat, baik bagi anak maupun orangtua karena dapat menimbulkan kecemasan, kehilangan, dan kesedihan. Banyak orangtua dan anak menolak untuk berubah karena tidak ingin kehilangan dan sedih. Lebih baik memelihara keseimbangan yang sudah ada dan tidak ingin menyesuaikan diri serta menciptakan keseimbangan baru, sehingga anak kadang kurang berani mengambil keputusan untuk pergi. Kadang, ada juga orangtua kurang tega dengan berbagai alasan. Memang, kedua belah pihak harus belajar bahwa pergi dan membiarkan pergi itu, bukan akhir dari segala-galanya. Sistem keluarga harus membuka diri, menjangkau dunia luar, sampai daerah yang tidak terbatas jaraknya, sehingga orang tua menghadapi penyesuaian baru karena ketidakseimbangan akibat ketiadaan anak.
Sindrom Sarang Kosong (Empty-nest Syndrome)
Sarang Kosong atau Empty-nest Syndrome (Webber dan Delvin, 2005) adalah kondisi psikologi yang dialami oleh orang tua (terutama oleh para ibu) ketika mereka mulai beranjak dewasa dan meninggalkan rumah. Hal ini dapat disebabkan karena anak tersebut telah memasuki usia kuliah ataupun anak tersebut telah menikah.
Kebanyakan orang tua harus menyadari bahwa merupakan hal normal untuk merasa sedih ketika mereka sedang mempersiapkan anaknya untuk memasuki bangku kuliah dan meninggalkan rumah. Merupakan hal yang normal pula untuk menangis ketika orang tua tidak lagi dapat mengatur anak, atau berharap anak dapat membuat keputusan yang baik dan benar di dunia luar. Hal ini juga normal jika ingin menghabiskan waktunya di kamar anak, agar orang tua tersebut merasa lebih dekat dengan sang anak (Clark, 2007). Bagi para orang tua, sebaiknya jangan malu dengan hal tersebut, karena hal itu adalah wajar-wajar saja. Namun jika orang tua merasa tidak berguna lagi, menangis secara berlebihan, merasa sangat bersedih hingga tidak ingin berkumpul dengan para sahabat atau pergi bekerja, maka orang tersebut sebaiknya meminta bantuan profesional, terutama jika simptom-simptom tersebut berlangsung lebih dari seminggu (Webber & Delvin, 2005).
Para orang tua terkadang tidak menyadari bahwa ketika anak mereka meninggalkan rumah, banyak keuntungan yang dapat mereka peroleh. Hal ini merupakan suatu kesempatan yang baik untuk memulai hobi baru atau kegiatan lain untuk membantu orang tua menghabiskan waktu. Orang tua juga dapat memulai sebuah pekerjaan baru atau dapat memulai suatu perjalanan (liburan). Ketika orang tua mengabaikan kenyataan bahwa anak mereka tidak lagi berada di rumah, maka mereka dapat menikmati hal-hal baru yang tidak mereka peroleh ketika masih menjaga anak ataupun merawat anak (Clark, 2007).
Transisi menjadi orang tua dari anak yang berusia remaja dan anak yang telah dewasa merupakan salah satu hal yang sulit. Disamping untuk tetap fokus pada peran yang mereka mainkan dalam kehidupan anak, orang tua juga harus tetap fokus pada kehidupan mereka. Witmer (2007) mengemukakan beberapa cara mencegah sekaligus mengatasi sindrom sarang kosong, yaitu sebagai berikut:
Mengerjakan sesuatu
Melakukan kerja sosial, mengikuti sebuah kelas, menemukan sebuah hobi baru atau melakukan apa saja pada waktu luang secara teratur dapat menghindarkan para orang tua dari rutinitas yang membosankan.
Berlibur
Para orang tua dapat melakukan suatu perjalanan (liburan) bersama pasangannya, membicarakan masa depan, serta membuat rencana. Hal ini dapat disebut sebagai bulan madu kedua, dimana mereka dapat memulai bagian kedua dari hubungan mereka.
Membuat paket yang berguna
Para orang tua juga dapat melakukan hal-hal yang dapat membantu anak mereka, misalnya saja membelikan bahan makanan atau pelengkapan mandi untuk tempat tinggal anak yang baru. Selain menambah kesibukan, hal ini juga dapat membuat anak senang dan tetap menjaga hubungan antara orang tua-anak.
Memberi selamat pada diri sendiri
Meskipun pekerjaan sebagai orang tua tidak akan pernah selesai, namun paling tidak mereka telah menyelesaikan salah satu tugasnya sebagai orang tua. Mereka telah berhasil membesarkan anak, dimana hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Para orang tua sebaiknya memberikan applause terhadap apa yang telah mereka lakukan sebagai penyemangat dalam hidup mereka.
Memperoleh dukungan
Jika mereka mengalami masa yang sulit dan mengalami depresi, sebaiknya segera meminta bantuan (memperoleh dukungan) dari pasangannya, saudara, sahabat (yang mengalami masalah yang sama) ataupun dari psikolog.

Sindrom Sarang Kosong

Ada berita bagus untuk para ibu yang berharap dapat mengatasi sindrom empty nest atau sarang yang kosong—ada burung kecil yang datang dan mengatakan pada kita bahwa sindrom itu akan segera berlalu, kok!
Para ibu selalu mulai merasa paranoid saat sarang atau rumah mereka mulai terasa sepi saat anak terakhirnya tinggal di luar kota untuk kuliah, atau meninggalkan rumah karena menikah. Perasaan kehilangan yang amat sangat dan keheningan di rumah bisa membuat mereka gila. Tetapi tenang saja, perasaan-perasaan itu akan menghilang dengan cepat.
Begini skenarionya: Pada awalnya, Anda sedang berusaha mengatasi kepedihan Anda karena anak-anak mulai mandiri. Mungkin menonton acara favorit Anda dan anak-anak sendirian bisa membuat Anda sedih. Atau mungkin berkurangnya pakaian kotor yang harus dicuci atau kamar-kamar yang perlu dirapikan memuat Anda sangat merindukan mereka. Anda menghabiskan pulsa telepon Anda menelepon dan mengirim SMS pada mereka, yang akhirnya membuat mereka jengkel dan berkata, “Ma, aku baik-baik saja!”
Tapi satu-dua bulan kemudian, Anda tiba-tiba menyadari beberapa kenyataan yang menyenangkan: Anda dan suami Anda mulai lebih sering pergi berkencan, mengadakan acara kumpul dengan teman-teman, atau merencanakan liburan pendek ke luar kota atau luar negeri. Anda juga dapat mengikuti kursus-kursus yang dulu tidak pernah bisa diikuti—karena tak ada waktu dan kesempatan, berlama-lama melakukan hobi Anda, dan sejujurnya: menikmati hidup tanpa anak-anak di rumah Anda.
Penelitian yang dipaparkan The O Magazine me-nunjukkan bahwa banyak ibu yang menyadari bahwa sindrom empty nest ternyata tidak benar-benar merusak. Dewasa ini, deskripsi klasik dari depresi yang tak mau pergi, apati, dan kehilangan identitas (“Siapakah saya jika saya tidak lagi bisa mengurus anak-anak?”) tidak lagi relevan. Menurut Christine M. Proulx, PhD, profesor di University of Missouri, ibu-ibu kita terlalu banyak membicarakan kesenangan dan kebanggaan saat mengawasi anak-anak mereka melewati transisi tersebut, dan mereka merasa senang melihat hasil didikan dan asuhan mereka pada si buah hati. Akhirnya, para ibu, sama seperti para ayah, merasa kepergian anak-anak untuk meninggalkan rumah tidak terlalu memberatkan.
Beberapa alasan untuk fenomena ini adalah meningkatnya angka wanita yang bekerja serta kecanggihan teknologi komunikasi seperti ponsel, smartphone, dan komputer. Jika dulu saat Anda bersekolah di luar kota, Anda perlu menjadwalkan suatu waktu khusus dalam satu hari tertentu untuk menerima telepon dari orang tua Anda ke asrama atau tempat kos. Sekarang, Anda bisa chatting dengan Yahoo Messenger atau Skype dengan anak Anda saat ia baru saja menghadiri kelas di Sidney, Australia.
Sebenarnya, sindrom empty nest bukan hanya bisa diatasi, sindrom tersebut ter-nyata malah berguna. Menurut Sara Gorchoff, PhD, peneliti S3 pada Uni-versity of California Berkeley, ada per-ubahan ritme pernikahan yang tercatat pada 123 orang wanita dari usia 40-60 tahun: mereka mengakui bahwa ke-pergian anak-anak membuat mereka lebih puas atas hubungan mereka dengan pasangan. Yang mempengaruhi antara lain adalah tersedianya cukup banyak waktu untuk Anda dan pasangan, serta apa saja yang Anda berdua lakukan untuk mengisi waktu tersebut. Jika dulu hari Minggu pagi mesti dihabiskan untuk mengajak anak-anak ke mall untuk membeli keperluan mereka, sekarang Anda dan pasangan bisa jalan-jalan, nonton, dan rekreasi. Kalau dulu malam hari adalah waktu makan bersama keluarga, sekarang Anda bisa mengatur makan malam intim berdua, lengkap dengan lilin-lilin dan segelas sampanye.
Tentu saja, melewati perubahan dari rumah yang ramai canda-tawa anak-anak menjadi rumah yang sepi terasa tidak menyenangkan untuk semua orang tua. Untuk single parent, hal itu bahkan bisa memburuk, apalagi saat malam hari mereka cenderung sendirian dan kesepian. Menurut Carin Rubenstein, PhD, penulis Beyond Mommy Years: How to Live Happily Ever After... After the Kids Leave Home, pada 10% wanita, sindrom empty nest bisa jadi masalah jangka panjang dan berbuntut pada depresi.
Bagi para ibu yang sudah mulai merasa stres, cobalah mengambil satu-dua lang-kah mundur dan menarik napas. Ber-hentilah mengantisipasi, merencanakan, dan menduga-duga seperti apa hidup Anda nantinya setelah anak-anak tidak tinggal di rumah lagi. Jangan takut pada perubahan ini, karena satu tahap dalam hidup ini seharusnya jadi tahap yang paling Anda nanti-nantikan, karena inilah saat Anda bisa mempunyai ‘me-time’ yang tak ada habisnya.
Anda bisa bergabung dengan kursus-kursus, melakukan kerja sosial, mem-perdalam religiusme Anda, memperbarui persahabatan, dan melakukan segala macam hal yang belum sempat Anda lakukan. Cobalah mengikat diri dengan peran lain dan cara hidup yang berbeda, dan Anda akan menemukan kepercayaan diri dan keindahan hidup yang mekar bersamaan dengan kebebasan ini.

Sindrom sarang Kosong

a.    Pengertian
Istilah Empty Nest Syndrome, secara harfiah dapat diartikan sindroma sarang kosong (empty = kosong, nest = sarang ). Sindroma ini adalah suatu keadaan yang menimpa kaum ibu pada saat anaknya meninggalkan rumah karena belajar di kota lain atau ke luar negeri. Juga dapat terjadi ketika anaknya menikah dan tidak tinggal serumah lagi. Keadaan ini menyebabkan ada perasaan tidak diperlukan lagi peranan sebagai ibu seperti waktu sebelumnya (Dewi, 2007).
Sindrom sarang kosong mengacu pada kesedihan yang banyak terjadi pada orang tua ketika anak-anak mereka tidak tinggal lagi bersama dalam satu rumah. Kondisi ini secara khas terjadi pada wanita.  Sindrom sarang kosong berbeda dengan kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai. Kesedihan pada sindrom sarang kosong sering tidak dikenali, sebab seorang anak orang dewasa pindah dari rumah dilihat sebagai peristiwa yang normal (Betterhealth, 2006).
Sindrom sarang kosong adalah suatu istilah yang menggambarkan kondisi psikologi dan emosi yang dialami wanita dalam suatu waktu karena ditinggalkan oleh anak-anaknya atau karena anaknya menikah (Marjorie, 2007). 
Sindrom sarang kosong mengacu pada merasa tekanan, kesedihan, dan atau duka cita yang dialami oleh orang tua setelah anak-anaknya meninggalkan rumah setelah dewasa atau berumah tangga. Hal ini dapat terjadi ketika anak-anaknya pergi karena kuliah atau menikah (Cushman, 2005).  
b.   Penyebab
Empty Nest Syndrome (ENS) muncul sebagai gejala yang banyak melanda kaum ibu, terutama di negara barat, yang hubungan kekerabatan keluarga hampir tidak ada. Di barat, yang dinamakan keluarga hanya ayah, ibu, dan anak-anak, sehingga bila anak - anak pergi meninggalkan rumah, terasa sekali adanya kekosongan. Apalagi bila suami telah meninggal dunia, atau terpaksa hidup sendiri karena perceraian. Di Indonesia yang nilai kekerabatan keluarga masih menyertakan kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu, kemenakan, dan saudara dekat lainnya. Akan tetapi untuk ke depan, kemungkinan norma kekerabatan kita juga dapat berubah, dan mengikuti pola kekerabatan yang ada di negara barat. Walaupun demikian, sekarang pun bukan berarti ENS tidak dirasakan kaum ibu di Indonesia, karena hubungan emosi ibu dan anak bersifat universal (Dewi, 2007).
Keibuan selalu berkaitan dengan relasi ibu dengan anaknya sebagai kesatuan fisiologis, psikis dan sosial. Relasi tersebut dimulai sejak anak berada dalam kandungan ibunya dan dilanjutkan dengan proses-proses fisiologis berupa kelahiran, periode menyusui dan memelihara anak. Ketika anak mulai meninggalkan rumah, seorang ibu harus menghadapi masalah penyesuaian kehidupan yang biasa disebut dengan periode sarang kosong. Sindrom sarang kosong ini sangat terasa bagi ibu rumah tangga karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan di rumah dan selalu berinteraksi dengan anak-anak (Rahmah, 2006).
c.    Tanda dan gejala
Tanda dan gejala sindrom sarang kosong menurut Dewi (2007) yaitu:
1).    Ibu meneteskan airmata atau menangis tersedu-sedu, bila teringat anaknya.
2).    Sering termenung menatap tempat tidur yang kosong.
3).    Menaruh pakaian anaknya di bawah bantalnya
4).    Diam-diam menciumi pakaian putra atau putrinya.
Keadaan ini dianggap normal, bila berlangsung hanya satu minggu setelah kepergian anaknya, tetapi bila keadaan ini berlangsung lama maka disebut sindrom sarang kosong.
Wanita yang mengalami sindrom sarang kosong akan mengalami krisis kepercayaan diri, mereka merasakan tidak banyak berharga dalam kehidupan masyarakat (Thang, 2006).  

d.   Faktor Resiko
Saltz (2008) menjelaskan bahwa sindrom sarang kosong dibuktikan dengan adanya kesulitan dalam menghadapi perubahan, yang mana dapat dilihat dari gejala yang muncul, yaitu sedih yang berlebihan, takut akan peran anda dalam kehidupan sekarang, adanya aturan utama dalam kegiatan setiap hari, bagaimana anda memandang diri sendiri, dan bagaimana fungsi perkawinan anda.   
Menurut Rahmah (2006) ada beberapa faktor yang mempengaruhi sindrom sarang kosong pada ibu, yaitu keberadaan dan hubungan dengan pasangan, hubungan dengan anak sebelum, saat dan sesudah terpisah serta keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri.
Adapun faktor resiko yang menyebabkan seseorang terkena sindrom sarang kosong, sebagai berikut (Saltz, 2008):
1).      Orang yang sulit menerima perubahan dan perpisahan
2).      Orang tua yang selalu memberikan waktunya secara penuh
3).      Orang yang mengalami menopause, pensiun dan penuaan
4).      Orang tua yang merasa tidak siap ditinggal pergi anaknya dari rumah
e.    Cara Mengantisipasi
Sindrom sarang kosong tidak akan terjadi jika anda memikirkan bagaimana menghadapi perubahan agar menjadi lebih mudah. Beberapa hal dibawah ini dapat anda lakukan dengan mudah, lebih menggembirakan dan menyenangkan, Saltz (2008):
1).      Membuat perencanaan awal
Mulailah menyusun rencana sedini mungkin dan tanyakan pada anak anda tentang rencana mereka dimasa depan.
2).      Mengerti akan pasangan kita
Lihatlah secara positif, bahwa waktu yang ada adalah milik anda dan suami untuk menumbuhkan kembali sikap romantis, ciptakan privasi dalam rumah, berjalan-jalan dan cari tahu kembali mengenai hal-hal lain.
3).      Buatlah daftar tentang mimpi dan cita-cita anda
Membuat daftar dari pemikiran kita tanpa harus tercapai dan melibatkan anak-anak. Seperti membuat puisi, belajar piano, menemukan sebuah pekerjaan baru atau melanjutkan sekolah karena belajar tidak mengenal usia.
4).      Menghindari perubahan yang terlalu besar
Jangan membuat perubahan yang terlalu besar, berilah waktu pada diri anda dan jangan melakukan sesuatu secara tiba-tiba.
5).      Berbagi dengan orang lain yang mengalami hal sama
Satu masalah yang timbul pada ENS adalah bagaimana mendapakan simpati, karena itu terbukalah kepada orang lain.
6).      Persiapkan anak anda
Persiapkanlah suatu hal yang terbaik bagi anda dan anak anda.
Apabila sindrom sarang kosong terjadi berlarut-larut dan tidak diantisipasi, maka seorang ibu akan menjadi sangat sensitif dan kerap berprasangka negatif. Seorang ibu merasa anaknya tidak lagi menempatkannya di urutan pertama dalam hidup setelah anaknya menikah. Ia merasa anaknya lebih memilih pasangannya daripada dirinya (Indriasari & Ivvaty, 2007).  
f.      Cara Mengatasi
Terdapat beberapa cara yang baik untuk mengatasi akibat ENS yang merugikan, yaitu meyakinkan pada diri sendiri bahwa kepergian anak adalah untuk kebaikan masa depannya. Tidak perlu merasa tidak berguna, karena semua bimbingan seorang ibu yang disertai kasih sayang yang mendalam, akan tertanam dalam nurani anak. Menghindari mengungkap sesuatu yang merisaukan perasaan anak. Berbagi rasa dengan teman atau saudara yang mengalami hal yang sama.  Mencurahkan perhatian pada hal yang menyenangkan atau melakukan pekerjaan sesuai hobi (Dewi, 2007).  
Menurut Rahmah (2006), penyesuaian awal yang harus dilakukan adalah penyesuaian terhadap keluarga yang dalam hal ini berarti pasangan hidup atau suami, dan secara otomatis menyebabkan harus dilakukannya perubahan peran. Perubahan peran seorang ibu akan menjadi awal penyesuaian diri menghadapi sindrom sarang kosong. Seorang ibu yang masih memiliki pasangan, cenderung lebih mudah menyesuaikan diri dibandingkan dengan ibu yang sudah tidak memiliki pasangan. Keberadaan pasangan sangat berpengaruh dalam mencapai keseimbangan diri seorang ibu setelah kepergian anak, karena orientasi peran dalam hidup kembali berpusatkan pada pasangan. Selain itu, keberadaan pasangan juga mampu mereduksi kesedihan dan rasa sepi pada diri seorang ibu. Untuk ibu yang sudah tidak didampingi pasangan, cenderung mengorientasikan diri pada kegiatan diluar rumah. Dengan melibatkan diri pada kesibukan dan keramaian di luar rumah, seorang ibu mendapatkan kompensasi atas rasa kehilangannya terhadap anak-anak. Kemudian bersamaan dengan berjalannya waktu sebagai pemicu munculnya kebiasaan, seorang ibu akan keluar dari sindrom sarang kosong. 
 
Lebih lanjut Rahmah mengungkapkan bahwa penyesuaian diri seorang ibu yang mengalami sindrom sarang kosong dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain, perkembangan dan kematangan intelektual dan emosi, agama, usia, psikologis, kebahagiaan personal, keyakinan dan percaya diri, serta produktivitas. Bersamaan dengan itu, diidentifikasi pula dinamika penyesuaian diri ibu yang diawali dengan berubah drastisnya keadaan didalam rumah yang memunculkan kesepian dan kesedihan berlarut-larut sehingga dirasakan sebagai tekanan hidup. Lansia perlu mengalihkan diri pada kegiatan-kegiatan tertentu termasuk pendekatan kepada Tuhan, guna membantu meringankan beban dan menerima keadaan dirinya apa adanya sehingga lansia bisa menikmati kehidupan barunya tanpa kehadiran anak-anak

PENYESUAIAN DIRI IBU MENGHADAPI SINDROM SARANG KOSONG

Keibuan selalu berkaitan dengan relasi ibu dengan anaknya sebagai kesatuan fisiologis, psikis dan sosial. Relasi tersebut dimulai sejak anak berada dalam kandungan ibunya dan dilanjutkan dengan proses-proses fisiologis berupa kelahiran, periode menyusui dan memelihara anak. Ketika anak mulai meninggalkan rumah, seorang ibu hams menghadapi masalah penyesuaian kehidupan yang biasa disebut dengan periode sarang kosong. Sindrom sarang kosong ini sangat terasa bagi ibu rumah tangga karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan di rumah dan selalu berinteraksi dengan anak-anak. Penyesuaian awal yang hams dilakukan adalah penyesuaian terhadap keluarga yang dalam hal ini berarti pasangan hidup atau suami, dan secara otomatis menyebabkan hams dilakukannya perubahan peran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyesuaian diri ibu menghadapi sindrom sarang kosong, faktor apa saja yang mempengaruhinya dan bagaimana dinamikanya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus deskriptif eksploratoris yang bertujuan untuk memaparkan kenyataan yang sesungguhnya tentang penyesuaian diri ibu menghadapi sindrom sarang kosong sehingga menghasilkan suatu gambaran utuh, menggali lebih dalam aspek¬aspeknya dan menggambarkan dinamikanya. Data diperoleh dengan menggunakan metode wawancara, observasi dan angket. Data tersebut kemudian dianalisa, baik setiap kasus maupun lintas kasus, dengan menggunakan metode explanation building untuk memperoleh gambaran dan penjelasan secara menyeluruh.

Penelitian ini memaparkan bahwa perubahan peran seorang ibu akan menjadi awal penyesuaian diri menghadapi sindrom sarang kosong. Seorang ibu yang masih memiliki pasangan, cenderung lebih mudah menyesuaikan diri dibandingkan dengan ibu yang sudah tidak memiliki pasangan. Keberadaan pasangan sangat berpengaruh dalam mencapai keseimbangan diri seorang ibu setelah kepergian anak, karena orientasi peran dalam hidup kembali berpusatkan pada pasangan. Selain itu, keberadaan pasangan juga mampu mereduksi kesedihan dan rasa sepi pada diri seorang ibu. Untuk ibu yang sudah tidak didampingi pasangan, cenderung mengorientasikan diri pada kegiatan diluar mmah. Dengan melibatkan diri pada kesibukan dan keramaian di luar mmah, seorang ibu mendapatkan kompensasi atas rasa kehilangannya terhadap anak-anak. Kemudian bersamaan dengan berjalannya waktu sebagai pemicu munculnya kebiasaan, seorang ibu akan keluar dari sindrom sarang kosong.

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa penyesuaian diri seorang ibu yang mengalami sindrom sarang kosong mempunyai beberapa faktor, yaitu : kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain, perkembangan dan kematangan intelektual dan emosi, agama, usia, psikologis, kebahagiaan personal,

keyakinan dan percaya diri, serta produktivitas. Bersamaan dengan itu, diidentifikasi pula dinamika penyesuaian diri ibu yang diawali dengan berubah drastisnya keadaan didalam rumah yang memunculkan kesepian dan kesedihan berlarut-larut sehingga dirasakan sebagai tekanan hidup. Karena itu, perlu mengalihkan diri pada kegiatan-kegiatan tertentu juga pendekatan kepada Tuhan untuk membantu meringankan beban dan menerima keadaan dirinya apa adanya. Sehingga seorang ibu bisa menikmati kehidupan barunya tanpa kehadiran anak¬anak. Berdasarkan hasil penelitian ini juga diperoleh beberapa faktor lain yang mempengaruhi sindrom sarang kosong pada ibu, yaitu : keberadaan dan hubungan dengan pasangan; hubungan dengan anak sebelum, saat dan sesudah terpisah; serta keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri.

Mengatasi sindrom sarang kosong

Lulusan sekolah tinggi Anda ke perguruan tinggi untuk memulai kehidupan yang baru merdeka.

Tapi mereka bukan satu-satunya membuat transisi: orang tua juga menghadapi penyesuaian emosional dan gaya hidup. Dengan saran mengenai sindrom sarang kosong dan transisi perguruan tinggi, NewYork-Presbyterian Hospital dokter menawarkan tips pakar pada topik termasuk, mendekorasi kamar anak Anda, kartu kredit, tetap berhubungan dan banyak lagi.
"Ini normal mengalami beberapa rasa sedih atau kehilangan ketika anak Anda pergi untuk kuliah," kata Dr Amy Silverman, psikiater anak dan remaja di NewYork-Presbyterian/Westchester Divisi dan asisten profesor psikiatri di Weill Cornell Medical College. "Saya sarankan menghabiskan waktu dengan pasangan Anda atau teman-teman, terutama mereka yang telah melalui pengalaman yang sama Bicarakan perasaan Anda,. Tetapi juga tentang kepentingan dan tujuan."
"Untuk-terikat kuliah anak Anda, tujuannya adalah transisi mereka ke dalam kemerdekaan yang lebih besar dan tanggung jawab. Jika Anda seorang yang disebut helikopter tua yang micromanages kehidupan anak anda, sekarang waktu untuk tanah," kata Dr Karen Soren, direktur remaja pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Morgan Stanley Anak di NewYork-Presbyterian dan profesor klinis asosiasi pediatri dan kesehatan masyarakat di Columbia University College of Dokter dan Ahli Bedah. "Bahkan sebelum mereka pergi, berikan anak Anda lebih banyak kebebasan, sementara pengawasan langsung Anda masih mungkin."
Drs. Silverman dan Soren menawarkan tips lebih lanjut tentang membuat transisi kuliah lebih mudah, termasuk: 

  • Tetap berhubungan, tetapi tidak berlebihan. Ketika anak Anda pergi ke sekolah, mungkin kesempatan untuk mengembangkan jenis hubungan yang berbeda. Mengakui bahwa kemerdekaan baru mereka merupakan langkah penting.
  • Minggu malam panggilan telepon tidak lagi norma. Panggilan telepon seluler intermiten dan e-mail sekarang umum.
  • Anak-anak menghargai ruang mereka sendiri ketika mereka pulang untuk mengunjungi. Orangtua sering mendekorasi ulang dan merebut kembali beberapa ruang, tetapi mintalah anak Anda terlebih dahulu. Lihat jika Anda dapat memberi mereka ruang lain untuk memanggil mereka sendiri.
  • Mendidik diri sendiri pada kebijakan sekolah terhadap minum dan aturan lainnya. Berbicara dengan anak Anda tentang tanggung jawab mereka dan keselamatan mereka. Masalah seperti pesta minuman keras dimulai sedini minggu-minggu pertama sekolah.
  • Bicaralah dengan anak Anda tentang uang. Datanglah ke pemahaman tentang siapa yang membayar untuk biaya kuliah, buku, pakaian, perjalanan, telepon, dll Diskusikan apakah mereka akan mengambil pekerjaan paruh-waktu atau menggunakan kartu kredit (perusahaan kartu kredit agresif pasar untuk mahasiswa).
  • Membaca semua bahwa sekolah mengirimkan Anda. Tetap terinformasi. Dan, jika ada hari tua mengunjungi, pergi.
  • Jika orang tua atau anak memiliki kesulitan menyesuaikan berkepanjangan, mereka harus mencari evaluasi profesional.

Problem Wanita pada Usia Madya

Problem Wanita pada “Usia Madya”
 
Yang dinamakan  “Usia Madya” itu dimulai dari usia 35 tahun. Usia 30 tahun biasanya sudah mulai ada perubahan, hanya saja belum begitu dirasakan. Pada umumnya yang dirasakan hanya yang memiliki dampak negative saja, misalnya kulit mulai berkerut sedikit di pojok mata, yang semakin lama semakin nyata kerutannya.  Perubahan yang terjadi pada Usia Madya baik secara jasmani maupun rohani, antara lain adalah :
1.      Perubahan Jasmani
Tubuh mulai kendor dan tambah gemuk, karena kebanyakan lemak, walaupun makannya tetap tidak tambah banyak. Sebab metabolisme tubuh mulai berkurang. Kalau makannya tidak dikurangi, kelebihan dari kebutuhan tubuh, sisanya tertumtuk akhirnya menjadi lemak, sehingga tubuh lebih gemuk dan penampilan juga berubah.
2.      Penyakit
Beberapa macam penyakit yang biasa menyerang usia 40 tahun, misalnya :
a.       Darah tinggi dan tulang kropos (mudah patah). Untuk mengatasi tulang kropos dianjurkan ibu-ibu minum susu non lemak (SKIM)
b.      Diabetes Melitus (sakit gula)
c.       Rhematik, linu-linu, pinggang sakit/mudah lelah. Ini merupakan gejala umum untuk ibu-ibu usia madya.
Ini semua terjadi karena kelelahan “fisik”. Dan kelelahan “mental” untuk bapak-bapak dan ibu-ibu karier yang biasanya pada usia madya sedang meningkat kariernya. Pulang kerja sudah capai, loyo, kemudian malas diajak ngobrol, kadang-kadang berpengaruh negative dalam berhubungan suami-istri. Bapaknya loyo, ibunya adem.
Bagi ibu-ibu yang bukan wanita karier, terkadang merasa capai seharian bekerja mengurus rumah, setelah suami pulang kantor tidak mau diajak bicara atau bertukar pendapat dan pengalaman. Hal ini dapat berakibat tidak bergairah  dalam berhubungan suami-istri, kurang harmonis dan akibat  negative lainnya yang tidak kita harapkan.
3.      Monopause
Setiap orang biasanya tidak pas sama pada usia tertentu, tetapi pada umumnya  dimulai usia 44 tahun. Perubahan pada masa menopause ini kalau tidak diantisipasi sendiri oleh ibu-ibu bisa menimbulkan masalah, terutama dalam berhubungan suami-istri.
Tanda-tanda  monopause antara lain adalah sbb:
a.       mudah berkeringat
b.      terasa panas (kepanasan)
c.       sensitive (mudah tersinggung)
d.      malas melakukan hubungan suami-istri, sebab terjadi penipisan kulit dinding vagina (sakit). Padahal pada usia madya, justru bapak-bapak ini sedang getol-getolnya untuk memamerkan keperkasaannya atau kejantanannya.
Ibu-ibu harus hati-hati!, kalau bapak mengajak “beraduhai”, kemudian istri sering menolak, ibu-ibu harus ingat bahwa di luar sana banyak sekali daun muda yang segar. Sebenarnya kalau ada keluhan dalam ber”aduhai” misalnya sakit, bisa diatasi dengan pergi ke dokter kandungan. Ada salep tertentu yang mengandung hormone estrogen yang bisa mengatasi masalah tersebut.
4.      Syndrome Sangkar Kosong
Biasanya ibu-ibu pada usia madya, pas suaminya berada di puncak karier. Kerja keras, waktu untuk keluarga terbatas. Pulang kantor sudah lewat jam kerja, capai, gampang marah. Kemudian putra-putri sudah menginjak remaja dan dewasa, sehingga jarang di rumah. Senangnya pergi dolan dengan teman-temannya. Sehingga ibu-ibu di rumah merasa kesepian, merasa tidak di butuhkan lagi oleh keluarga. Hal ini dapat mengakibatkan depresi mental. Keadaan seperti inilah yang disebut dengan Syndrome Sangkar Kosong. Kalau ibu tersebut merupakan wanita karier, biasanya menjadi mudah marah, sensitive dan mudah menangis. Kalau ibu tersebut ibu rumah tangga , umumnya lalu “menarik diri” tidak mau bergaul, suami dan anak-anak tidak begitu dipedulikan. Sehingga menimbulkan jurang pemisah antara ibu dengan keluarga, lalu timbul “miss communication”
Permasalahan yang timbul pada “Usia Madya.” Ini dapat diatasi  antara lain dengan :
  1. Lebih mendekatkan diri lagi kepada Tuhan (berserah diri atau sumeleh pada Sang Pencipta)
  2. Komunikasi yang terbuka dengan semua anggota keluarga
  3. Jujur dan tahu empan dan papan

Kamis, 04 Agustus 2011

FENOMENA WANITA BEKERJA

Fenomena wanita be­kerja sebenarmya bu­kan­lah fenomena baru yang muncul kemarin sore, melainkan sejak za­man awal diciptakannya ma­nusia. Hanya cara dan istilahnya yang berbeda pada ma­sing-masing zaman. Menjadi wanita tidaklah semudah yang dibayangkan oleh seorang pria tentang wanita. Apalagi wanita Indonesia, yang masih sangat kental dengan budaya ketimuran, yang selalu memandang wanita adalah sebagai seorang ibu yang anggun, halus, lemah lembut, selalu dekat dengan ke­luarga, dengan kasih sa­yang­nya membesarkan buah ha­tinya, dan sebagainya. Pe­rum­paan dan istilah itu, sepertinya hanya layak diberikan ke­pada kaum wanita saja.

Sejak dilahirkan wanita me­­mang memiliki kodrat yang membedakannya dengan kaum pria. Wanita Indonesia adalah wa­nita bangsa Timur yang meng­agungkan posisinya di keluarga. Sejak dahulu wanita menekuni peranannya di da­lam lingkup keluarga sebagai pendamping suami serta ibu bagi anak-anaknya. Pengasu­han anak-anak 100% berada di tangan ibu dan ayahnya, tidak di­serahkan kepada pihak lain ter­masuk pengasuh.


Tetapi, seiring dengan per­kem­bangan zaman dan era glo­balisasi yang semakin maju, kini wanita Indonesia diberi ke­sempatan serta peran yang sama dengan pria untuk ber­partisipasi dalam pembangunan nasional. Program pening­katan peran wanita di dalam pembangunan semakin men­da­pat perhatian. Wanita diberi kesempatan untuk berperan lebih majemuk dan menikmati pendidikan tinggi. Hasilnya, banyak wanita yang tampil dan berperan dalam kehidupan ber­masyarakat, berbangsa, ber­­negara, dan dalam berbagai aktivitas ekonomi.

Keterlibatan wanita yang su­­dah kentara membawa dam­pak terhadap peran wanita da­lam kehidupan keluarga. Fe­no­mena yang terjadi dalam ma­syarakat adalah semakin ba­nyak­nya wanita membantu sua­­mi mencari tambahan peng­­hasilan, selain karena di­do­rong oleh kebutuhan ekonomi keluarga, juga wanita se­makin dapat mengekspresikan dirinya di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi kecenderungan wanita untuk berpartisipasi di luar rumah, agar dapat membantu meningkatkan perekonomian keluarga.

Motivasi untuk bekerja de­ngan mendapat penghasilan khu­susnya untuk wanita go­lo­ngan menengah tidak lagi ha­nya untuk ikut memenuhi ke­butuhan ekonomi keluarga, me­lainkan juga untuk meng­gu­nakan keterampilan dan pe­nge­­tahuan yang telah mereka peroleh serta untuk mengembangkan dan mengaktulisasikan diri. Di kehidupan keluarga, suami dan istri umumnya memegang peranan dalam pem­­binaan kesejahteraan ber­sama, secara fisik, materi mau­pun spiritual, juga dalam me­ningkatkan kedudukan ke­luarga dalam masyarakat un­tuk memperoleh penghasilan yang pada dasarnya di­mak­sud­kan untuk memenuhi ke­bu­tuhan eko­nomi keluarga.

Tugas untuk memperoleh penghasilan keluarga secara tradisional terutama dibeban­kan kepada suami sebagai ke­pala keluarga, sedangkan peran istri dalam hal ini dianggap sebagai penambah penghasilan keluarga. Dalam golongan ber­pernghasilan rendah, istri lebih berperan serta dalam memperoleh penghasilan untuk keluarga (Ihromi, 1990). Seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak, membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecuali ikut mencari pe­kerjaan di luar rumah. Ada pula ibu-ibu yang tetap memilih untuk bekerja, karena mempunyai kebutuhan sosial yang tinggi dan tempat kerja mereka sangat mencukupi kebutuhan mereka tersebut. Dalam diri mereka tersimpan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial, akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor, menjadi agenda yang lebih menyenangkan dari pada tinggal di rumah. Faktor psikologis seseorang serta keadaan internal keluarga, turut mempengaruhi seorang ibu untuk tetap mempertahankan pekerjaannya (Yu­lia, 2007).

Wanita Bekerja

Menurut Beneria (dalam Gunn, 1994) wanita yang be­ker­ja adalah wanita yang menjalankan peran produktifnya. Wanita memiliki dua kategori peran, yaitu peranan reproduktif dan peranan produktif. Pe­ranan reproduktif mencakup peranan reproduksi biologis, se­dangkan peranan produktif adalah peranan dalam bekerja yang menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis.

Banyak persoalan yang di­alami oleh para wanita ibu ru­mah tangga yang bekerja di luar rumah, seperti bagaimana mengatur waktu dengan suami dan anak hingga mengurus tu­gas-tugas rumah tangga dengan baik. Ada yang bisa me­nikmati peran gandanya, na­mun ada yang merasa kesulitan hingga akhirnya persoalan-persoalan rumit semakin ber­kembang dalam hidup sehari-hari (Yulia, 2007).

Pada umumnya, wanita ba­nyak menghadapi masalah psi­kologis karena adanya berbagai perubahan yang dialami saat menikah, antara lain perubahan peran sebagai istri dan ibu ru­mah tangga, bahkan juga sebagai ibu bekerja. (Pujiastuti dan Retnowati, 2000). Wanita yang menjadi istri dan yang bekerja sering hidup dalam pertentangan yang tajam antara perannya di dalam dan di luar ru­mah. Banyak wanita yang bekerja full-time melaporkan bah­wa mereka merasa bersalah karena sepanjang hari meninggalkan rumah. Namun, setiba­nya di rumah mereka merasa tertekan karena tuntutan anak-anak dan suami. Sering sekali timbul perselisihan antara suami-istri yang terus-mene­rus tentang pekerjaan atau gaji siapa yang lebih pen­ting bagi kelangsungan hidup maupun hal lainnya misalnya masalah tanggung jawab dalam mendidik dan merawat anak-anak (Ubaydillah, 2003).


Faktor pendorong Wanita Bekerja

Menurut Yulia (2007), faktor-faktor yang mendasari kebutuhan wanita untuk bekerja di luar rumah adalah :

  1. Tuntutan hidup, ada be­berapa wanita yang bekerja bu­kan karena mereka ingin bekerja tetapi lebih karena tuntutan hidup. Bagaimana mereka tidak bekerja jika gaji suami tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup. Ada suatu tren di kota besar dimana biaya hidup begitu besar sehingga ibu yang bekerja adalah merupakan sua­tu tuntutan zaman.

  2. Pendapatan tambahan un­tuk keleluasan finansial, be­be­rapa wanita berpendapat bahwa jika mereka mempunyai penghasilan sendiri, mereka me­rasa lebih bebas dalam meng­gunakan uang. Mereka bisa mendukung keuangan ke­luarga mereka sendiri seperti memberi uang untuk orang tua, ikut membiayai kuliah adik, memberi sumbangan untuk ke­luarga yang sakit dan lain sebagainya.

  3. Aktualisasi diri dan pres­tise, manusia mempunyai ke­bu­tuhan akan aktualisasi diri, dan menemukan makna hi­dupnya melalui aktivitas yang di­jalaninya. Bekerja ada­lah salah satu sarana yang da­pat dipergunakan oleh ma­nu­sia dalam menemukan mak­na hidupnya.

  4. Pengembangan bakat men­jadi komersial, banyak juga ibu rumah tangga yang menjadi pengusaha atau tokoh terkenal bukan karena mengejar ka­rir tetapi karena dengan sen­dirinya mereka berkembang oleh bakat yang dimilikinya. Ada banyak karir gemilang yang didapat oleh kaum ibu yang bermula dari sekedar ho­bi, seperti hobi menjahit, me­masak, merangkai bunga, bah­kan bergaul dan berbicara.
  5. Kejenuhan di rumah, ada juga para ibu yang rela me­ninggalkan anak-anak di ru­mah bukan karena desakan eko­nomi dan bukan pula karena desakan batin untuk mengaktualisasikan dirinya. Mereka hanyalah ibu-ibu yang merasa bosan jika harus mengurus anak di rumah. Mereka lebih senang jika bisa mempunyai kesibukan dan berkesempatan untuk bercanda ria dengan re­kan-rekan kerja.

Penutup

Wanita yang bekerja memiliki kesadaran untuk harus bisa menjadi ibu yang sabar dan bijaksana bagi anak-anak dan menjadi istri yang baik bagi suami serta menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung ja­wab atas keperluan dalam urusan rumah tangga. Di tempat kerja juga mempunyai komitmen dan tanggung jawab atas pe­kerjaan yang dipercayakan ke­padanya sehingga harus me­­nunjukkan prestasi kerja yang baik. Dengan demikian, terjadi keseimbangan untuk menya­tukan keduanya dan hal ini ti­dak mudah, diperlukan usa­ha dan tekad supaya peran ganda wanita dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Se­moga!!

WANITA BEKERJA

Banyak persoalan yang dialami oleh para wanita - ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah, seperti bagaimana mengatur waktu dengan suami dan anak hingga mengurus tugas-tugas rumah tangga dengan baik. Ada yang bisa menikmati peran ganda-nya, namun ada yang merasa kesulitan hingga akhirnya persoalan-persoalan rumit kian berkembang dalam hidup sehari-hari. Nah, jika dengan bekerja – ternyata mendatangkan problem yang cukup memusingkan, maka pertanyaannya, apakah manfaatnya jika seorang ibu pergi bekerja mencari nafkah di luar rumah? Artikel berikut ini akan mengupas masalah yang sering dihadapi oleh para ibu yang bekerja, dengan tidak lupa memberikan beberapa alternatif solusi yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Sumber Masalah

Sejak jaman dahulu hingga kini, persoalan yang dihadapi oleh kaum ibu yang bekerja di luar rumah sepertinya tidak jauh berbeda. Berbagai hambatan dan kesulitan yang mereka alami dari masa ke masa, berasal dari sumber-sumber yang sama. Faktor-faktor yang biasanya menjadi sumber persoalan bagi para ibu yang bekerja dapat diberdakan sebagai berikut:

1. Faktor Internal

Yang dimaksud dengan faktor internal adalah persoalan yang timbul dalam diri pribadi sang ibu tersebut. Ada di antara para ibu yang lebih senang jika dirinya benar-benar hanya menjadi ibu rumah tangga, yang sehari-hari berkutat di rumah dan mengatur rumah tangga. Namun, keadaan “menuntut” nya untuk bekerja, untuk menyokong keuangan keluarga. Kondisi tersebut mudah menimbulkan stress karena bekerja bukanlah timbul dari keinginan diri namun seakan tidak punya pilihan lain demi membantu ekonomi rumah tangga. Biasanya, para ibu yang mengalami masalah demikian, cenderung merasa sangat lelah (terutama secara psikis), karena seharian “memaksakan diri” untuk bertahan di tempat kerja.

Selain itu ada pula tekanan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan peran ganda itu sendiri. Memang, kemampuan “manajemen waktu dan rumah tangga” merupakan salah satu kesulitan yang paling sering dihadapi oleh para ibu bekerja. Mereka harus dapat memainkan peran mereka sebaik mungkin baik di tempat kerja maupun di rumah. Mereka sadar, mereka harus bisa menjadi ibu yang sabar dan bijaksana untuk anak-anak – serta menjadi istri yang baik bagi suami serta menjadi ibu ruman tangga yang bertanggung jawab atas keperluan dan urusan rumah tangga. Di tempat kerja, mereka pun mempunyai komitmen dan tanggung jawab atas pekerjaan yang dipercayakan pada mereka hingga mereka harus menunjukkan prestasi kerja yang baik. Sementara itu, dari dalam diri mereka pun sudah ada keinginan ideal untuk berhasil melaksanakan kedua peran tersebut secara proporsional dan seimbang.

Namun demikian kenyataan ideal tersebut cukup sulit untuk dicapai karena beberapa faktor, misalnya pekerjaan di kantor sangat berat, sedangkan suami di rumah kurang bisa “bekerja sama” untuk ikut menyelesaikan pekerjaan rumah, sementara anak-anak juga menuntut perhatian dirinya. Akhirnya, sang ibu tersebut akan merasa sangat lelah karena dirinya merasa dituntut untuk terus memberi dan memenuhi kebutuhan orang lain. Belum lagi, jika ternyata suami dan anak-anak merasa “kurang mendapat perhatian”, tidak heran jika lama kelamaan dirinya mulai dihinggapi depresi, karena merasa tidak bisa membahagiakan keluarganya.

2. Faktor Eksternal

a. Dukungan suami

Dukungan suami dapat diterjemahkan sebagai sikap-sikap penuh pengertian yang ditunjukkan dalam bentuk kerja sama yang positif, ikut membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, membantu mengurus anak-anak serta memberikan dukungan moral dan emosional terhadap karir atau pekerjaan istrinya. Di Indonesia, iklim paternalistik dan otoritarian yang sangat kuat, turut menjadi faktor yang membebani peran ibu bekerja, karena masih terdapat pemahaman bahwa pria tidak boleh mengerjakan pekerjaan wanita, apalagi ikut mengurus masalah rumah tangga. Masalah rumah tangga adalah kewajiban sepenuhnya seorang istri. Masalah yang kemudian timbul akibat bekerjanya sang istri, sepenuhnya merupakan kesalahan dari istri dan untuk itu ia harus bertanggung jawab menyelesaikannya sendiri.

Keadaan tersebut, akan menjadi sumber tekanan yang berat bagi istri, sehingga ia pun akan sulit merasakan kepuasan dalam bekerja. Kurangnya dukungan suami, membuat peran sang ibu di rumah pun tidak optimal (karena terlalu banyak yang masih harus dikerjakan sementara dirinya juga merasa lelah sesudah bekerja) – akibatnya, timbul rasa bersalah karena merasa diri bukan ibu dan istri yang baik.

b. Kehadiran anak

Masalah pengasuhan terhadap anak, biasanya dialami oleh para ibu bekerja yang mempunyai anak kecil/balita/batita. Semakin kecil usia anak, maka semakin besar tingkat stress yang dirasakan. Rasa bersalah karena meninggalkan anak untuk seharian bekerja, merupakan persoalan yang sering dipendam oleh para ibu yang bekerja. Apalagi jika pengasuh yang ada tidak dapat diandalkan/dipercaya, sementara tidak ada famili lain yang dapat membantu.

c. Masalah pekerjaan

Pekerjaan, bisa menjadi sumber ketegangan dan stress yang besar bagi para ibu bekerja. Mulai dari peraturan kerja yang kaku, bos yang tidak bijaksana, beban kerja yang berat, ketidakadilan yang dirasakan di tempat kerja, rekan-rekan yang sulit bekerja sama, waktu kerja yang sangat panjang, atau pun ketidaknyamanan psikologis yang dialami akibat dari problem sosial-politis di tempat kerja. Situasi demikian akan membuat sang ibu menjadi amat lelah, sementara kehadirannya masih sangat dinantikan oleh keluarga di rumah. Kelelahan psikis dan fisik itu lah yang sering membuat mereka sensitif dan emosional, baik terhadap anak-anak maupun terhadap suami. Keadaan ini biasanya makin intens, kala situasi di rumah tidak mendukung – dalam arti, suami (terutama) dan anak-anak (yang sudah besar) kurang bisa bekerja sama untuk mau “gantian” melayani dan membantu sang ibu, atau sekedar meringankan pekerjaan rumah tangga.

3. Faktor Relasional

Dengan bekerjanya suami dan istri, maka otomatis waktu untuk keluarga menjadi terbagi. Memang, penanganan terhadap pekerjaan rumah tangga bisa diselesaikan dengan disediakannya pengasuh serta pembantu rumah tangga. Namun demikian, ada hal-hal yang sulit dicari substitusinya, seperti masalah kebersamaan bersama suami dan anak-anak. Padahal, kebersamaan bersama suami dalam suasana rileks, santai dan hangat merupakan kegiatan penting yang tidak bisa diabaikan, untuk membina, mempertahankan dan menjaga kedekatan relasi serta keterbukaan komunikasi satu dengan yang lain.
Tidak jarang, kurangnya waktu untuk keluarga, membuat seorang ibu merasa dirinya tidak bisa berbicara secara terbuka dengan suaminya, bertukar pikiran, mencurahkan pikiran dan perasaan, atau merasa suaminya tidak lagi bisa mengerti dirinya, dan akhirnya merasa asing dengan pasangan sendiri sehingga mulai mencari orang lain yang dianggap lebih bisa mengerti, dsb. Ini lah yang bisa membuka peluang terhadap perselingkuhan di tempat kerja.

Motivasi

Apakah yang sebenarnya melandasi tindakan para ibu tersebut untuk bekerja di luar rumah, atau motif-motif apa saja yang mendasari kebutuhan mereka untuk bekerja di luar rumah, hingga mereka mau menghadapi berbagai resiko atau pun konsekuensi yang bakal dihadapi. Berikut ini adalah beberapa diantaranya:

1. Kebutuhan finansial

Seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak, membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecuali ikut mencari pekerjaan di luar rumah, meskipun “hati” nya tidak ingin bekerja.

2. Kebutuhan sosial-relasional

Ada pula ibu-ibu yang tetap memilih untuk bekerja, karena mempunyai kebutuhan sosial-relasional yang tinggi, dan tempat kerja mereka sangat mencukupi kebutuhan mereka tersebut. Dalam diri mereka tersimpan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial, akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor, menjadi agenda yang lebih menyenangkan dari pada tinggal di rumah. Faktor psikologis seseorang serta keadaan internal keluarga, turut mempengaruhi seorang ibu untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.

3. Kebutuhan aktualisasi diri

Abraham Maslow pada tahun 1960 mengembangkan teori hirarki kebutuhan, yang salah satunya mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri, dan menemukan makna hidupnya melalui aktivitas yang dijalaninya. Bekerja adalah salah satu sarana atau jalan yang dapat dipergunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya. Dengan berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan sesuatu, menghasilkan sesuatu, serta mendapatkan penghargaan, penerimaan, prestasi – adalah bagian dari proses penemuan dan pencapaian kepenuhan diri. Kebutuhan akan aktualiasai diri melalui profesi atau pun karir, merupakan salah satu pilihan yang banyak diambil oleh para wanita di jaman sekarang ini – terutama dengan makin terbukanya kesempatan yang sama pada wanita untuk meraih jenjang karir yang tinggi.
Bagi wanita yang sejak sebelum menikah sudah bekerja karena dilandasi oleh kebutuhan aktualisasi diri yang tinggi, maka ia akan cenderung kembali bekerja setelah menikah dan mempunyai anak. Mereka merasa bekerja dan pekerjaan adalah hal yang sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, menyokong sense of self dan kebanggaan diri – selain mendapatkan kemandirian secara finansial.

4. Lain-lain

Pada beberapa kasus, ada pula ibu bekerja yang memang jauh lebih menyukai dunia kerja ketimbang hidup dalam keluarga. Mereka merasa lebih rileks dan nyaman jika sedang bekerja dari pada di rumah sendiri. Dan pada kenyataannya, mereka bekerja agar dapat pergi dan menghindar dari keluarga. Kasus ini memang dilandasi oleh persoalan psikologis yang lebih mendalam, baik terjadi di dalam diri orang yang bersangkutan maupun dalam hubungan antara anggota keluarga.

Manfaat Bekerja Bagi Wanita

Bagaimana pun juga, kerja mempunyai manfaat positif baik bagi sang ibu bekerja maupun bagi keluarga. Beberapa segi positifnya adalah :

1. Mendukung ekonomi rumah tangga

Dengan bekerja nya sang ibu, berarti sumber pemasukan keluarga tidak hanya satu, melainkan dua. Dengan demikian, pasangan tersebut dapat mengupayakan kualitas hidup yang lebih baik untuk keluarga, seperti dalam hal : gizi, pendidikan, tempat tinggal, sandang, liburan dan hiburan, serta fasilitas kesehatan

2. Meningkatnya harga diri dan pemantapan identitas

Bekerja, memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya sendiri, dengan cara yang kreatif dan produktif, untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggaan terhadap diri sendiri, terutama jika prestasinya tersebut mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya; dan pencapaian tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan.

3. Relasi yang sehat dan positif dengan keluarga

Wanita yang bekerja, cenderung mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dan bervariasi, sehingga cenderung mempunyai pola pikir yang lebih terbuka, lebih energik, mempunyai wawasan yang luas dan lebih dinamis. Dengan demikian, keberadaan istri bisa menjadi partner bagi suami, untuk menjadi teman bertukar pikiran, serta saling membagi harapan, pandangan dan tanggung jawab.

4. Pemenuhan kebutuhan sosial

Setiap manusia, termasuk para ibu, mempunyai kebutuhan untuk menjalin relasi sosial dengan orang lain. Dengan bekerja, seorang wanita juga dapat memenuhi kebutuhan akan “kebersamaan” dan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas. Bagaimana pun juga, sosialisasi penting bagi setiap orang untuk mempunyai wawasan dan cara berpikir yang luas, untuk meningkatkan kemampuan empati dan kepekaan sosial – dan yang terpenting, untuk dapat menjadi tempat pengalihan energi secara positif, dari berbagai masalah yang menimbulkan tekanan/stress, entah masalah yang sedang dialami dengan suami, anak-anak maupun dalam pekerjaan. Dengan sejenak bertemu dengan rekan-rekan, mereka dapat saling sharing, berbagi perasaan, pandangan dan solusi.

5. Peningkatan skill dan kompetensi

Dengan bekerja, maka seorang wanita harus bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan, baik tuntutan tanggung jawab maupun tuntutan skill dan kompetensi. Untuk itu, seorang wanita dituntut untuk secara kreatif menemukan segi-segi yang bisa dikembangkan demi kemajuan dirinya. Peningkatan skill dan kompetensi yang terus menerus akan mendatangkan “nilai lebih” pada dirinya sebagai seorang karyawan, selain rasa percaya diri yang mantap.

Beberapa Hasil Penelitian

Di bawah ini akan diungkapkan beberapa hasil penelitian menyangkut situasi-situasi keluarga yang keduanya (suami dan istri) sama-sama bekerja

1. Kepuasan Hidup

Studi tentang kepuasan hidup wanita bekerja yang pernah dilakukan oleh Ferree (1976) menunjukkan, bahwa wanita yang bekerja menunjukkan tingkat kepuasan hidup sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja, meski ada beberapa faktor lain yang ikut menentukan.

2. Kebahagiaan Perkawinan

Hasil penelitian Freudiger, P. (1983), yang dimuat dalam Journal of Marriage and the Family, 45, 213 – 219 – tentang ukuran kebahagiaan hidup wanita yang sudah menikah, ditinjau dari 3 kategori : wanita bekerja, wanita pernah bekerja dan wanita yang belum pernah bekerja, menunjukkan bahwa bagi para istri dan ibu bekerja, kebahagiaan perkawinan adalah tetap menjadi hal yang utama, dibandingkan dengan kepuasan kerja.

Studi lain masih menyangkut kebahagiaan kehidupan para ibu bekerja, yang dilakukan oleh Walters dan McKenry (1985) menunjukkan, bahwa mereka cenderung merasa bahagia selama para ibu bekerja tersebut dapat mengintegrasikan kehidupan keluarga dan kehidupan kerja secara harmonis. Jadi, adanya konflik peran yang dialami oleh ibu bekerja, akan menghambat kepuasan dalam hidupnya. Perasaan bersalah (meninggalkan perannya sementara waktu sebagai ibu rumah tangga) yang tersimpan, membuat sang ibu tersebut tidak dapat menikmati peran-nya dalam dunia kerja.

3. Dukungan Suami

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jones dan Jones (1980) terungkap bahwa sikap suami merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan dual-career marriage. Suami yang merasa terancam, tersaingi dan cemburu dengan status “bekerja” istrinya, tidak bisa bersikap toleran terhadap keberadaan istri yang bekerja. Ada pula suami yang tidak menganggap pekerjaan istri menjadi masalah, selama istrinya tetap dapat memenuhi dan melayani kebutuhan suami. Namun ada pula suami yang justru mendukung karir istrinya, dan ikut bekerja sama dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga sehari-hari. Dalam kondisi yang terakhir ini, pada umumnya sang istri akan lebih dapat merasakan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup, keluarga dan karirnya


Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Scanzoni (1980) diungkapkan bahwa perkawinan dual-career dikatakan berhasil jika di antara kedua belah pihak (suami dan istri) saling memperlakukan pasangannya sebagai partner yang setara. Pada umumnya, mereka tidak hanya akan berbagi dalam hal income, namun tidak segan-segan berbagi dalam urusan rumah tangga dan mengurus anak.

Beberapa Kiat

1. Manajemen Waktu

Manajemen waktu adalah strategi penting yang perlu diterapkan oleh para ibu bekerja untuk dapat mengoptimalkan perannya sebagai ibu rumah tangga, istri dan sekaligus karyawati. Untuk itu ada beberapa anjuran yang bisa dipraktekkan :

a. Tentukan dan tetapkan tujuan Anda dalam bekerja.

Apakah yang menjadi motivasi dan tujuan Anda dalam bekerja? Apakah untuk mendapatkan income atau lebih berorientasi pada karir. Lanjutkan dengan hal-hal yang menjadi konsekuensi dari tujuan Anda bekerja, misalnya : seberapa jauhkah Anda ingin melibatkan diri pada pekerjaan dan berapa lama waktunya? apakah Anda tetap menginginkan akhir minggu bersama keluarga ? Pekerjaan macam apakah yang Anda inginkan, full-time atau part-time? Sesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Anda beserta keluarga.

b. Tetapkan prioritas Anda

Dengan menetapkan prioritas Anda, Anda dapat mulai menentukan jenis dan porsi aktivitas untuk masing-masing peran (sebagai istri, ibu dan karyawan). Misalnya, Anda dapat menetapkan jadwal kegiatan Anda mulai dari pagi hingga malam dan sambil memberi fokus pada hal-hal tertentu yang menjadi target prioritas Anda dalam hidup. Misalnya, meskipun Anda bekerja, namun sepulang kerja Anda harus menyediakan waktu yang berkualitas baik untuk anak maupun suami. Susun agenda agar Anda dapat mengatur kegiatan secara lebih sistematis dan efisien.


c. Delegasikan beberapa tugas (baik tugas kantor maupun tugas rumah) kepada orang lain.

Delegasikan beberapa pekerjaan pada orang lain, untuk dapat mengefisienkan pekerjaan Anda dan membuat Anda dapat meluangkan lebih banyak waktu untuk keluarga. Pendelegasian pekerjaan, membuat Anda akan merasa lebih rileks dan dapat memfokuskan diri pada pekerjaan yang betul-betul harus Anda sendiri yang mengerjakan. Jika pekerjaan terlalu padat, pastikan Anda mendelegasikan pekerjaan rumah tangga secara rinci pada pembantu rumah tangga. Pastikan pula, bahwa anak Anda berada dalam pengasuhan orang yang dapat dipercaya dan diandalkan, misalnya menitipkan pada orang tua.
Pendelegasian beberapa pekerjaan rumah tangga pun bermanfaat bagi Anda agar Anda tidak terlalu lelah dibebani pekerjaan sehari-hari sehingga kurang dapat menyediakan waktu yang berkualitas untuk anak dan suami (terlalu sibuk membereskan pekerjaan rumah)



2. Manajemen Keluarga

Berperan ganda, membutuhkan komitmen yang tinggi baik sebagai karyawan/profesional maupun sebagai ibu. Jika di rumah, seorang ibu akan dituntut komitmennya untuk memberikan perhatian pada anggota yang lain, seperti suami dan anak sementara tidak melupakan pula tanggung jawab rumah tangga. Untuk itu, mempekerjakan pembantu rumah tangga akan sangat membantu meringankan pekerjaan rutin Anda. Dengan demikian, sepulang kerja atau pun waktu libur Anda dapat lebih rileks, punya waktu untuk bersantai bersama keluarga dan bahkan berkomunikasi secara intensif dengan suami dan anak-anak.
Bagi pasangan yang mempunyai anak relatif lebih besar, dapat ditanamkan pengertian pada mereka untuk ikut membantu mengelola tugas rumah tangga sehari-hari. Ajarkan prinsip kerja sama dan tanggung jawab sejak dini pada anak, agar ia terbiasa bersikap mandiri, berinisiatif dan dapat diandalkan.

Jika anak masih kecil, upayakan untuk menyediakan pengasuh yang baik, bertanggung jawab dan dapat dipercaya oleh Anda dalam mengasuh anak ketika Anda pergi bekerja. Alangkah baiknya jika ada anggota keluarga lain seperti orang tua, adik atau kakak yang dapat dimintai pertolongan menjaga, mengawasi dan menemani anak Anda. Mekanisme tersebut tidak ada salahnya digunakan, terutama karena Anda sendiri pada waktu-waktu tertentu membutuhkan quality time bersama suami, entah sekedar makan malam berdua atau pergi jalan-jalan – agar antara Anda dengan suami, meskipun sama-sama sibuk, tetap dapat mendekatkan hati demi memelihara dan mempertahankan keharmonisan perkawinan.

3. Manajemen Pekerjaan

Untuk mengusahakan quality time bersama keluarga, Anda perlu bersikap lebih efisien dan produktif dalam pekerjaan. Makin Anda tidak efisien dan produktif, makin banyak pekerjaan yang tertunda dan makin Anda malas untuk menyelesaikannya, hingga menghambat hubungan Anda dengan keluarga. Meskipun sudah di rumah, pikiran Anda melayang ke kantor/pekerjaan dan Anda jadi tegang terus mengingat deadline yang sudah dekat. Akibatnya, Anda stress dan sensitif terhadap anak-anak dan suami. Jadi, manajemen keluarga yang baik, dipengaruhi pula oleh manajemen waktu dan produktivitas yang baik di tempat kerja. Seperti yang telah diungkap sebelumnya, jika mungkin, delegasikan beberapa pekerjaan yang dapat Anda berikan pada orang lain agar waktu kerja Anda lebih efisien dan produktivitas Anda pun maksmimal.

4. Manajemen Diri

Untuk bisa mengatur diri sendiri, Anda perlu mengenali diri sendiri. Kenalilah, seberapa tinggi tingkat toleransi Anda terhadap stress dan hal-hal apa saja yang dapat membuat Anda stress. Hindarkan tindakan-tindakan atau kegiatan yang hanya akan menambah persoalan, dan rubahlah cara berpikir irrasional yang mengganggu kenyamanan hidup Anda. Dari pada memikirkan hal-hal yang negatif, mengkhawatirkan hal-hal yang belum pasti, lebih baik jika Anda sudah mulai stress karena overload atau kelelahan, istirahatlah sejenak ! Ambillah waktu bersantai, untuk melakukan kegiatan dan hobi yang Anda suka, misalnya berenang, membaca buku, bersantai di rumah, mengunjungi teman lama, pergi ke tempat wisata – intinya, menimba energi baru. Dengan tersedianya energi baru, maka Anda akan lebih mempunyai daya tahan yang kuat menghadapi tekanan yang datang dari masalah-masalah di tempat kerja maupun di rumah.
Ciptakan suasana rileks dalam hati Anda dan berpikirlah positif, agar Anda tidak terlalu tegang dan mudah reaktif terhadap orang lain. Sering-sering bercanda (humor) dengan keluarga dan teman-teman, sangat bermanfaat untuk melepaskan kejenuhan, ketegangan dan kebosanan.

5. Memelihara Dukungan Sosial

Memelihara hubungan baik dengan rekan-rekan di sekeliling Anda serta atasan, sangatlah penting untuk mencegah timbulnya masalah yang tidak perlu. Bahkan, dukungan moril dan emosional dari rekan-rekan dan atasan, dapat membuat Anda lebih bersemangat kerja. Keberadaan mereka, juga dapat berperan dalam membantu Anda saat menghadapi masalah keluarga. Pengertian dan perhatian mereka, membuat Anda merasa lebih nyaman saat Anda harus meninggalkan kantor atau menunda pekerjaan karena masalah-masalah berat dan penting di keluarga. Keberadaan rekan-rekan, akan membantu Anda dalam mendelegasikan beberapa pekerjaan.