Jumat, 05 Agustus 2011

Sindrom Sarang Kosong

Ada berita bagus untuk para ibu yang berharap dapat mengatasi sindrom empty nest atau sarang yang kosong—ada burung kecil yang datang dan mengatakan pada kita bahwa sindrom itu akan segera berlalu, kok!
Para ibu selalu mulai merasa paranoid saat sarang atau rumah mereka mulai terasa sepi saat anak terakhirnya tinggal di luar kota untuk kuliah, atau meninggalkan rumah karena menikah. Perasaan kehilangan yang amat sangat dan keheningan di rumah bisa membuat mereka gila. Tetapi tenang saja, perasaan-perasaan itu akan menghilang dengan cepat.
Begini skenarionya: Pada awalnya, Anda sedang berusaha mengatasi kepedihan Anda karena anak-anak mulai mandiri. Mungkin menonton acara favorit Anda dan anak-anak sendirian bisa membuat Anda sedih. Atau mungkin berkurangnya pakaian kotor yang harus dicuci atau kamar-kamar yang perlu dirapikan memuat Anda sangat merindukan mereka. Anda menghabiskan pulsa telepon Anda menelepon dan mengirim SMS pada mereka, yang akhirnya membuat mereka jengkel dan berkata, “Ma, aku baik-baik saja!”
Tapi satu-dua bulan kemudian, Anda tiba-tiba menyadari beberapa kenyataan yang menyenangkan: Anda dan suami Anda mulai lebih sering pergi berkencan, mengadakan acara kumpul dengan teman-teman, atau merencanakan liburan pendek ke luar kota atau luar negeri. Anda juga dapat mengikuti kursus-kursus yang dulu tidak pernah bisa diikuti—karena tak ada waktu dan kesempatan, berlama-lama melakukan hobi Anda, dan sejujurnya: menikmati hidup tanpa anak-anak di rumah Anda.
Penelitian yang dipaparkan The O Magazine me-nunjukkan bahwa banyak ibu yang menyadari bahwa sindrom empty nest ternyata tidak benar-benar merusak. Dewasa ini, deskripsi klasik dari depresi yang tak mau pergi, apati, dan kehilangan identitas (“Siapakah saya jika saya tidak lagi bisa mengurus anak-anak?”) tidak lagi relevan. Menurut Christine M. Proulx, PhD, profesor di University of Missouri, ibu-ibu kita terlalu banyak membicarakan kesenangan dan kebanggaan saat mengawasi anak-anak mereka melewati transisi tersebut, dan mereka merasa senang melihat hasil didikan dan asuhan mereka pada si buah hati. Akhirnya, para ibu, sama seperti para ayah, merasa kepergian anak-anak untuk meninggalkan rumah tidak terlalu memberatkan.
Beberapa alasan untuk fenomena ini adalah meningkatnya angka wanita yang bekerja serta kecanggihan teknologi komunikasi seperti ponsel, smartphone, dan komputer. Jika dulu saat Anda bersekolah di luar kota, Anda perlu menjadwalkan suatu waktu khusus dalam satu hari tertentu untuk menerima telepon dari orang tua Anda ke asrama atau tempat kos. Sekarang, Anda bisa chatting dengan Yahoo Messenger atau Skype dengan anak Anda saat ia baru saja menghadiri kelas di Sidney, Australia.
Sebenarnya, sindrom empty nest bukan hanya bisa diatasi, sindrom tersebut ter-nyata malah berguna. Menurut Sara Gorchoff, PhD, peneliti S3 pada Uni-versity of California Berkeley, ada per-ubahan ritme pernikahan yang tercatat pada 123 orang wanita dari usia 40-60 tahun: mereka mengakui bahwa ke-pergian anak-anak membuat mereka lebih puas atas hubungan mereka dengan pasangan. Yang mempengaruhi antara lain adalah tersedianya cukup banyak waktu untuk Anda dan pasangan, serta apa saja yang Anda berdua lakukan untuk mengisi waktu tersebut. Jika dulu hari Minggu pagi mesti dihabiskan untuk mengajak anak-anak ke mall untuk membeli keperluan mereka, sekarang Anda dan pasangan bisa jalan-jalan, nonton, dan rekreasi. Kalau dulu malam hari adalah waktu makan bersama keluarga, sekarang Anda bisa mengatur makan malam intim berdua, lengkap dengan lilin-lilin dan segelas sampanye.
Tentu saja, melewati perubahan dari rumah yang ramai canda-tawa anak-anak menjadi rumah yang sepi terasa tidak menyenangkan untuk semua orang tua. Untuk single parent, hal itu bahkan bisa memburuk, apalagi saat malam hari mereka cenderung sendirian dan kesepian. Menurut Carin Rubenstein, PhD, penulis Beyond Mommy Years: How to Live Happily Ever After... After the Kids Leave Home, pada 10% wanita, sindrom empty nest bisa jadi masalah jangka panjang dan berbuntut pada depresi.
Bagi para ibu yang sudah mulai merasa stres, cobalah mengambil satu-dua lang-kah mundur dan menarik napas. Ber-hentilah mengantisipasi, merencanakan, dan menduga-duga seperti apa hidup Anda nantinya setelah anak-anak tidak tinggal di rumah lagi. Jangan takut pada perubahan ini, karena satu tahap dalam hidup ini seharusnya jadi tahap yang paling Anda nanti-nantikan, karena inilah saat Anda bisa mempunyai ‘me-time’ yang tak ada habisnya.
Anda bisa bergabung dengan kursus-kursus, melakukan kerja sosial, mem-perdalam religiusme Anda, memperbarui persahabatan, dan melakukan segala macam hal yang belum sempat Anda lakukan. Cobalah mengikat diri dengan peran lain dan cara hidup yang berbeda, dan Anda akan menemukan kepercayaan diri dan keindahan hidup yang mekar bersamaan dengan kebebasan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar