Kamis, 04 Agustus 2011

WANITA BEKERJA DAN IMPLIKASI SOSIAL

Pendahuluan

Pembangunan merupakan sebuah upaya multi dimensional untuk mengubah keadaan dari tertentu menuju kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus disertai peningktan harkat dan martabat manusia tanpa pandang bulu. Setiap orang dari lapisan manapun berhak memperoleh manfaat dari pembangunan. 

Bila salah salah satu mengalami ketertinggalan, maka pembangunan dianggap tidak sukses. Hal ini disebabkan karena pembangunan harus mengintroduksikan nilai-nilai egalitarianisme dan demokrasi sosial. Salah satu dampak yang harus diperhitungkan adalah perubahan sosial yang terjadi pada perubahan nilai-nilai kemasyarakatan. Karena pembangunan mengintroduksikan spriit of progress maka bisa jadi muncul ekspektasi untuk hidup lebih baik dari setiap warga. Mereka ingin mengalami kemajuan, baik dalam pengertian ekonomi maupun politik. Ironisnya tidak semua golongan dapat meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga terjadi deprivasi relatif. Ini merupakan sebuah penomena kemunculan kesadaran individu atau kelompok terhadap hak-hak ekonomi dan politik yang tercabut.
Kesadaran inilah yang saat ini sedang menggejala dan dialami oleh para pekerja atau buruh, baik laki-laki maupun perempuan. Para pekerja tersebut pada umumnya juga didorong olah ekspektasi ekonomi melalui peningkatan pendapatan. Bekerja sebagai buruh di perkotaan atau menjadi pembantu rumah tangga di negara manca, dilakukan oleh kaum wanita baik yang belum maupun yang sudah dengan tujuan yang sama yaitu memperoleh penghasilan yang lebih baik. Namun kecenderungan wanita perdesaan lebih tertuju untuk bekerja di luar negeri dibandingkan alternatif bekerja sebagai buruh atau pembantu rumah tangga di dalam negeri. Bekerja sebagai buruh atau pembantu di dalam negeri, di samping memiliki status sosial yang kurang terhormat juga pendapatan yang diperoleh tidak memadai.
Berbagai kecenderungan wanita selama beberapa tahun terakhir ini, ditandai makin meningkatnya angka partisipasi angkatan kerja wanita, yang didominasi oleh mereka yang berusia relatif muda. Kenaikan tingkat partisipasi angkatan kerja wanita sebagian disebabkan oleh bertambahnya kemiskinan dan merebaknya pengangguran. Seperti sudah dikaji banyak ahli, di lingkungan keluarga semakin mereka dihimpit kemiskinan, semakin berat tekanan yang mengharuskan mereka mencari pekerjaan produktif sekalipun dengan imbalan yang sangat rendah.


Posisi Tawar Menawar Buruh Wanita

Selama dua dekade terakhir ini diperkirakan jumlah tenaga kerja wanita terserap disektor industri sebagai buruh mengalami kenaikan sekitar 4,3% setiap tahunnya. Menurut Pudjiwati Sayogjo (1989), peningkatan itu terjadi paling-tidak karena dua faktor: 
  • Pertama, karena sektor industri, seperti industri rokok, tekstil, konfeksi dan industri makanan serta minuman untuk sebagian menuntut ketelitian, ketekunan dan sifat-sifat lain yang umumnya merupakan ciri kaum wanita.
  • Kedua, karena tenaga kerja wanita dipandang lebih penurut dan murah sehingga secara ekonomis lebih menguntungkan bagi pengusaha. 

Elson dan Pearson (1984) menyatakan bahwa penggunaan tenaga kerja wanita untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu sesungguhnya adalah strategi pengusaha untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah. Kedua ahli tersebut dengan tegas menyatakan tidak benar apabila pembagian kerja timbul karena kaum wanita dianggap paling cocok untuk pekerjaan tertentu. Dalam kenyataannya, hal itu hanya sekedar mitos belaka atau sengaja “dimitoskan”.
Di pihak perusahaan cenderung mencari tenaga kerja wanita yang berusia muda dengan pertimbangan dapat menekan pengeluaran. Sebagaimana hasil penelitian dari Mather (1982), bahwa banyak perusahaan mencari tenaga kerja wanita yang berumur 13-20 tahun dengan tujuan menekan pengeluaran. Disamping dapat memberi upah murah, pengusaha juga merasa lebih dapat menghemat uang perusahaan karena tidak perlu memberi tunjangan sosial akibat tidak adanya tanggungan keluarga. Hal ini berbeda bila perusahaan memperkerjakan tenaga kerja pria yang selain lebih mahal juga memiliki amggota keluarga yang harus diberi tunjangan, entah itu istri atau anak. 

Secara lebih rinci, Manning (1980) mengemukakan dua keuntungan yang diperoleh pengusaha bila mereka memperkerjakan kaum wanita. Pertama, kaum wanita lebih telaten dan lebih penurut sehingga tidak banyak menimbulkan kesulitan dalam menerapakan langkah kebijaksanaan perusahaan. Kedua, angkatan kerja wanita sangat banyak dari segi upah relatif lebih murah daripada kaum pria sehingga karenanya dapat menekan biaya produksi. Dibandingkan dengan bekerja di desa asal mereka, pendapatan yang mereka peroleh dari bekerja sebagai buruh industri juga mereka nilai lebih membanggakan daripada bekerja di sektor formal. Tetapi, masalahnya tentu bukan sekedar apakah upah yang mereka terima sebagai buruh industri itu lebih besar pendapatan yang mereka terima dari bekerja di desa
Pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh entah itu dari media massa ataupun dari hasil perbincangan dengan orang lain mengenai berapa sesungguhnya upah wajar yang berhak diterima tentu akan mempengaruhi kesadarn buruh kaum wanita. Jadi berbeda dengan dugaan semula, pengusaha yang mengasumsikan bahwa kaum buruh wanita akan lebih bersikap “nrimo”, penurut, mau digaji lebih rendah daripada kaum pria, ternyata itu semua tidak terjadi. Diam-diam, perasaan grundel dan tidak puas terhadap lingkungan kerja dan upah yang diterima telah tersebar merata di benak buruh kaum wanita dan begitu ada momen tertentu bukan tidak mungkin itu semua akan meledak dalam bentuk aksi pemogokan dan demonstrasi. 

Untuk mengatasi masalah sikap pengusaha yang cenderung mengeksploitasi buruh wanita dan buruh pada umumnya, pemerintah sesungguhnya tidak begitu saja menutup mata. Melalui Menteri Tenaga Kerja, pemerintah telah mencoba berbagai cara untuk mencegah perusahaan yang masih bersikap nakal, antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1989 yang mengancamkan sanksi hukuman bagi perusahaan yang melanggar Ketentuan Upah Minimal.
Tetapi karena sanksi yang diberikan relatif ringan yaitu ancaman denda hanya 100.000,- dan sanksi hukuman yang diancamkan juga hanya 3 bulan penjara, maka dapat diduga pihak perusahaan tidak merasa terbebani dan bukan menjadi persoalan yang serius dengan adanya sanksi dan denda tersebut. Dengan kata lain hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 5/1989 itu dalam kenyataannya tidak berjalan terlalu efektif. Ancaman denda yang terlalu kecil dan sanksi hukuman kurungan tidak sebanding dengan keuntungan yang bakal diperoleh jika mereka melanggarnya. 

Saat ini yang masih menjadi persoalan adalah pemenuhan tuntutan kenaikan upah itu acap kali masih dilakukan secara karitas dan dalam banyak hal juga terpaksa. Banyak kasus membuktikan bahwa kenaikan upah yang dilakukan dan perhatian yang diberikan atas nasib kaum buruh wanita bukan dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa hal tersebut merupakan hak buruh. Banyak pengusaha melakukan kenaikan upah dan memperlakukan buruh wanita secara lebih manusiawi setelah didesak berbagai pihak baik buruh sendiri, pemerintah, maupun pers atau setelah dilakukan kalkulasi bahwa kenaikan upah itu memang dari segi ekonomis dapat dipenuhi. Sering terjadi kesediaan pengusaha untuk menaikkan upah dilakukan dengan syarat-syarat tertentu dan harus membawa korban. Kaum buruh yang vokal, pemimpin atau buruh yang gigih memperjuangkan nasib diri dan teman-temannya acap kali harus menjadi tumbal keluar dari perusahaan tersebut karena dianggap penyulut keributan.

Sampai saat ini, ada kesan bahwa para pengusaha-pengusaha masih melihat buruh terutama kaum buruh wanita bukan sebagai mitra kerja yang memiliki hubungan “saling tergantung” dengan pemilik perusahaan, tetapi masih melihatnya sebagai alat untuk menekan biaya dan mencari keuntungan semata. Oleh karena itu, tidak kalah pentingnya adalah bagaimana memberi kekuatan tawar menawar (bargaining power) kepada kaum buruh wanita serta mengubah persepsi pengusaha dari sekedar memanfaatkan buruh sebagai sarana produksi menjadi kesadaran untuk lebih memanusiakan buruh dan memperlakukan mereka sebagai mitra kerja, bukan komponen produksi. Dengan menaikan kekuatan tawar menawar kaum buruh wanita dan menghargai mereka sebagai mitra kerja, niscaya dimasa mendatang masalah perburuhan dapat terselesaikan secara lebih arif dan bijaksana. 


Implikasi Sosial Migrasi Tenaga Kerja Wanita

Meningkatnya partisipasi wanita dalam pasar kerja bukanlah terjaadi secara kebetulan, karena peranan wanita dalam pasar tenaga kerja secara tradisional sebenarnya cukup besar. Terutama di daerah perdesaan dan khususnya sektor pertanian. Peningkatan persentase wanita kerja disebabkan oleh du afaktor utama, yaitu peningkatan dari sisi penawaran dan sisi pemintaan (Tjiptoherijanto, 1997). 
  • Pertama, dari sisi penawaran peningktan tersebut disebabkan antara lain oleh semakin membaiknya tingkat pendidikan wanita dan disertai pula dengan menurunnya angka kelahiran. Hal tersebut didorong pula oleh kondisi makin besarnya penerimaan sosial atas wanita yang bekerja di luar rumah. 
  • Kedua, dari sisi permintaan, perkembangan perekonomian (dari sisi produksi) memerlukan tenaga kerja wanita, seperti halnya industri tekstil dan garmen. Sedangkan fenomena lain yang makin mendorong masuknya wanita ke lapangan kerja adalah karena makin tingginya biaya hidup bila hanya ditopang oleh satu penyangga pendapatan keluarga (one earner household).
Fenomena ini mulai muncul ke permukaan dan terlihat jelas terutama pada keluarga yang berada di daerah perkotaan. Nampaknya sebagian besar masyarakat Indonesia sepakat bahwa peranan wanita atau perempuan tidak bisa dipisahkan dengan peran dan kedudukan mereka dalam keluarga. Mengingat di masa lalu, wanita lebih banyak terkungkung dalam peran sebagai pendamping suami dan pengasuh anak. Namun seiring dengan kemajuan ekonomi dan meningkatnya pendidikan wanita maka banyak ibu rumah tangga dewasa ini yang tidak hanya berfungsi sebagai manajer rumah tangga, tetapi juga ikut berkarya di luar rumah. Kecenderungan untuk bekerja di luar rumah jelas akan membawa konsekuensi sekaligus berbagai implikasi sosial, antara lain meningkatnya kanakalan remaja akibat kurangnya perhatian orang tua, makin longgarnya nilai-nilai ikatan perkawinan/keluarga dan lain-lain. Hal-hal ini lebih sering diasosiasikan sebagai akibat dari semakin banyaknya ibu rumah tangga bekerja di luar rumah, terutama di perkotaan. 

Permasalahan akan menjadi makin rumit, bila ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah dalam jangka waktu yang relatif lama (baik di kota lain atau di luar negeri). Dengan kata lain ibu rumah tangga harus tinggal di kota lain dan berpisah dengan keluarganya dalam kurun waktu lama. Yang berarti itensitas pertemuan dengan keluarga menjadi jauh berkurang dan secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keharmonisan dalam keluarga. Dalam sistem sosial budaya di Indonesia, peran dan tanggung jawab bagi kelancaran dan keselamatan rumah tangga ada di tangan wanita, sedangkan peran ayah atau bapak lebih dikaitkan sebagai penghasil dan penyangga pendapatan rumah tangga. Pada kenyataannya, peran ibu rumah tangga tidaklah kecil dalam mendukung perekonomiannya.
Bersamaan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dunia dan peningkatan jumlah penduduk serta dengan munculnya era globalisasi, arus perdagangan dan maupun arus keluar masuk tenaga kerja tidak bisa dihambat. Terlebih lagi dengan derasnya arus informasi yang dapat memberikan gambaran perkembangan di negara lain pada saat yang hampir bersamaan, sehingga arus informasi kesempatan kerja dapat diketahui oleh negara-negara pengekspor tenaga kerja, seperti halnya Indonesia. Namun sayangnya tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri lebih banyak berasal dari tingkat pendidikan yang rendah. 

Dilihat dari segi sosial, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, terutama untuk kaum wanitanya, sangat sering mendapatkan kritik akibat banyaknya kasus yang muncul.Akhir-akhir ini terjadi kecenderungan feminisasi pekerja migran. Mereka bekerja di sektor-sektor yang dikategorikan sebagai “pekerjaan khas perempuan”, seperti pembantu rumah tangga, pengasuh anak, dan sebagainya. Seringkali mereka menghadapi masalah karena keberadaannya sebagai perempuan, seperti pelecehan seksual, perkawinan semu, bahkan sampai kematian yang tidak jelas sebabnya.

Kompleksitas dampak sosial dari migrasi pekerja wanita ke luar negeri juga semakin besar dengan hadirnya permasalahan lain seperti retaknya mahligai rumah tangga, penyelewengan suami dan lain-lain. Berbagai permasalahan yang dialami perempuan pekerja migran di negara lain lebih banyak diekspose media massa, labih sering dari pada perempuan pekerja migran yang bekerja di dalam negeri. Namun bukan tidak mungkin bahwa persoalan serupa dialami pula perempuan pekerja migran di kota-kota besar di Indonesia.

Penutup

Meskipun hasil kerja tenaga kerja wanita yang bermigrasi dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kesejahteraan keluarga misalnya dengan pengiriman remitten, terutama bagi yang ditinggal ditempat asal, namun bagaimanapun wanita yang bekerja, apalagi mengadu nasib di luar daerah atau luar negeri, selalu membawa konsekuensi bagi keutuhan dan keharmonisan kehidupan keluarganya.
Berkecimpungnya wanita terutama wanita migran dalam lapangan kerja tidaklah selalu membawa keberhasilan sesuai yang diinginkan. Bahkan tidak jarang wanita yang bekerja dengan bekal pendidikan dan keterampilan yang jauh dari memadai, telah menjadi obyek tindakan yang sangat merugikan. Hal ini karena posisi tawar menawar mereka yang selalu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, bahkan cenderung selalu dikalahkan.
Salah satu upaya terpenting yang perlu dilakukan adalah bagaimana memberi perlindungan yang layak bagi wanita kerja dan mengupayakan diperolehnya hakhaknya sebagai pekerja. Termasuk pula hak-hak kodratnya sebagai kaum wanita. ( dikutip dari Ratna P. Tjaja )


Daftar Pustaka

T.O. Ihromi. 1995, Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia
(YOI). Jakarta.
Bagong Suyanto dan Emi Susanti Hendrarso. 1996, Wanita: Dari Subordinasi dan
Marginalisasi Menuju ke Pemberdayaan, Airlangga University Press.
Surabaya.
Tjiptoherijanto, Prijono. 1997, Migran Nakerwan, Makalah disampaikan pada serial
diskusi yang ke VII dengan tema “Permasalahan Perempuan Pekerja Migran
Indonesia”. Jakarta, 5 Maret 1997.
Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1987, Mobilitas
Tenaga Kerja Wanita di Indonesia. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar